Anak Hebat
“Rifki, aneh!”
“Rifki, aneh!”
Aku tidak tahu, kenapa teman-teman sekelas selalu mengatakan seperti itu. Padahal kata mama aku tidak aneh, hanya sedikit berbeda dari yang lain karena aku lebih hebat. Sebelum berangkat sekolah, mama selalu tersenyum sambil mengusap kepalaku pelan. Lalu berkata, “anak mama sudah besar ya? Sudah kelas 3.”
Mendengar ucapan mama, akupun tersenyum lebar. Walau terkadang merasa bingung melihat mama tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Tapi kemudian aku tahu, mama seperti itu karena bahagia. Mama memang selalu bahagia setiap hari, seperti aku. Bedanya kalau mama bahagia matanya akan berkaca-kaca, maka aku akan tertawa sambil bertepuk tangan bahkan bergerak menggoyangkan badan.
Hari ini ibu guru memberi tugas menggambar. Teman sebangkuku, namanya Aldi. Dia sedang menggambar sesuatu yang bentuknya seperti rumah. Tapi tidak ada pintunya. Jendela dan temboknya juga terlihat bengkok. Bagaimana nanti kalau rumah itu roboh? Pasti Aldi akan tertimpa genteng dan tidak punya tempat tinggal lagi. Makanya aku tidak mau menggambar rumah.
“Rifki sedang menggambar apa?” Ibu Dina menatapku dengan tersenyum. Aku senang melihat orang-orang tersenyum. Mereka terlihat bahagia seperti aku.
“Rifki?” Aku tidak menjawab karena sedang fokus.
“Kenapa bukunya malah di coreti seperti ini? Ibukan meminta kamu untuk menggambar.”
Ibu Dina aneh. Padahal aku sudah menggambar dan mewarnainya juga. Hasilnya bagus sekali.
Sreettt
“Ya ampun! Rifki mewarnainya jangan keras-keras, kertasnya jadi sobek.” Wajah bu guru terlihat kaget, tapi tak lama kemudian menepuk punggungku pelan.
“Lagi bu!” seruku karena bu Dina menghentikan tepukannya, padahal aku senang di tepuk-tepuk seperti itu. Seperti yang selalu dilakukan mama. “Tepuk-tepuk lagi bu, punggungnya! Ayo bu!” pintaku memohon.
“Rifki, selesaikan dulu gambarnya ya? Tapi ibu kasih kertas yang baru.”
Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Gambarku bagus kenapa harus diganti? Aku menggambar cacing karena setiap istirahat aku suka melihat cacing-cacing yang ada di parit depan sekolah.
“Gambarnya bagus, ada bolongnya juga. Bagus bu!” Sambil tersenyum puas aku memperlihatkan hasil gambarku. Teman-temanku tertawa melihatnya. Aku bangga sekali bisa membuat mereka tertawa karena gambarku. Tapi bu Dina menegurnya. “Anak-anak, jangan begitu! Kitakan masih sama-sama belajar. Semua hasil gambar kalian bagus kok. Hanya harus lebih rajin lagi latihan menggambarnya.” bu melihat ke arahku “Rifki gambar lagi ya di kertas ini?”
“Tidak mau bu, capek! Yang inikan bagus, bu. Cacingnya berwarna. Ada warna merah, hijau, kuning, coklat, biru..”
Dari tadi bu Dina terus menggelengkan kepala. Mungkin merasa pusing karena sedari tadi teman-temanku memanggilnya bergantian untuk memperlihatkan hasil gambar mereka. Bu Dina melirik jam di dinding kelas, “Ayo, anak-anak! Waktunya sudah habis. Tugasnya dikumpulkan di meja ibu ya!”
Dengan percaya diri, aku berjalan riang menuju meja guru. Nilaiku pasti paling besar. Tapi, tiba-tiba Ari buku kertas gambarku dan membawanya lari hingga aku mengejarnya.
“Gambar Rifki jelek!”
“Gambar Rifki jelek!”
Aku masih berlari berusaha mengambilnya. Tapi Ari malah bersembunyi di belakang kursi bu Dina.
“Ari, jangan begitu nak! Ayo, kembalikan buku gambarnya Rifki!” bujuk bu Dina. Ari menggelengkan kepala, menyembunyikan buku gambarku ke belakang tubuhnya.
“Ari, ayo kembalikan! Mengambil barang orang lain itu tidak baik.”
“Tapi aku hanya meminjam bu!”
“Kamu sudah meminta ijin sama Rifki?” Ari menggeleng.
Bu Dina memandang kami bergantian, “Ari, kalau mau pinjam harus ijin dulu. Kalau mengambil begitu saja namanya mencuri. Ari tidak mau disebut pencuri kan?” Ari menggeleng lagi. “Nah, kalau begitu kembalikan bukunya ya?”
Akhirnya Ari mengangguk, mengembalikan buku gambarku. Kamipun bersalaman setelah bu Dina meminta kami berbaikan.
“Ayo, anak-anak! Sekarang duduk yang rapi.” Bu Dina menatap sekeliling kelas. “Nah, sebelum pulang kita berdoa dulu bersama-sama. Halim, aya pimpin doa!”
Selesai berdoa dan mengucapkan salam, bu Dina keluar dari kelas. Aku mengambil tasku, lalu berlari keluar kelas menghampiri mama yang sudah menunggu seperti biasa. Mama memang yang terbaik, selalu mengantar jemputku. Tidak seperti Aldi yang selalu pulang sendirian.
“Mama, tadi Ari mengambil kertas gambarku.”
“Oh ya?”
Aku mengangguk, “Tapi sekarang kami sudah baikan, ma.”
“Bagus kalau begitu. Anak mama tambah pintar sekarang!”
“Mama, aku juga hebat! Bisa membuat teman-teman tertawa lagi.” Aku suka menceritakan kegiatan di sekolah. Mata mama kembali seperti orang mau menangis karena sangat senang mendengar ceritaku. Ia mengusap kepalaku dan berkata, “Iya, Rifki memang hebat! Anak mama paling hebat!”
Aku bersorak senang. Lagi-lagi bisa membuat mama bahagia. Aku juga tak sabar ingin segera besok, pergi ke sekolah dan kembali membuat teman-temanku tertawa.
Komentar
Posting Komentar